Catatan dikit:
- Cerita ini adalah terjemahan serampangan saya dari The Dandelion Girl karangan Robert F. Young. Aslinya ini bukan cerita bersambung, tapi untuk mengurangi prokrastinasi saya memecahnya jadi enam bagian. Selain itu, cerita ini diterjemahkan bersambung
biar yang baca penasaransupaya saya juga terpacu untuk menyelesaikan.- Seperti yang sudah dibilang tadi, ini terjemahan serampangan. Akan banyak perbedaan diksi dan gaya bahasa antara terjemahan ini dengan cerita aslinya. Maklum masih amatiran. Jadi, tolong kasih saran dan kritik, ya. 😉
- Bagian-bagian lain dari terjemahan ini:
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5-6
Gadis Dandelion
Robert F. Young
Gadis yang berdiri di bukit itu mengingatkan Mark pada Edna Saint Vincent Millay. Barangkali karena caranya berdiri di tengah matahari senja dengan rambutnya yang berwarna kuning dandelion. Barangkali pula karena gaun putihnya yang ketinggalan zaman itu menari-nari di sekitar kakinya yang panjang semampai. Bagaimana pun juga, ia merasa seolah-olah gadis itu telah muncul dari masa lampau. Dan anehnya, seperti nanti akan ia ketahui, gadis itu rupanya tidak muncul dari masa lalu melainkan masa depan.
Ia berdiri beberapa langkah di belakang gadis itu sambil tersengal-sengal karena lelah mendaki bukit. Gadis itu belum melihatnya, dan ia berpkir keras bagaimana cara untuk menghampiri tanpa harus membuat gadis itu terkejut. Sembari berpikir, ia mengeluarkan pipa rokoknya lalu mengisi dan menyalakannya. Tangannya memegang ujung pipa dan ditiupnya hingga tembakau dalam pipa itu merah menyala. Waktu ia memandang gadis itu lagi, rupanya gadis itu telah berbalik dan memandang dirinya keheranan.
Perlahan ia berjalan mendekati gadis itu sembari menikmati langit yang terlihat amat dekat dekat, juga angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Harusnya aku lebih sering pergi mendaki bukit, katanya pada dirinya sendiri. Ia sudah menerobos hutan untuk sampai di atas bukit, dan sekarang hutan itu menghampar di belakangnya. Daun-daun pepohonan yang merah pucat di awal musim gugur ini membuat hutan itu terlihat seperti lautan api. Di balik hutan itu ada danau kecil lengkap dengan sebuah rumah kabin dan dermaga. Setelah istrinya dipanggil untuk melaksanakan tugas juri di pengadilan, di tempat itulah ia terpaksa menghabiskan sisa dua minggu libur musim seminya sendirian. Siangnya ia memancing di dermaga dan malamnya ia habiskan untuk duduk membaca buku di sisi perapian besar dalam kabinnya. Selang dua hari, ia sudah merasa bosan dan memutuskan untuk pergi memasuki hutan tanpa arah dan tujuan, hingga ia sampai ke atas bukit dan melihat gadis itu.
Mata gadis itu biru, sama birunya dengan langit yang melatarbelakangi tubuh semampainya. Wajahnya lonjong, muda, halus lagi manis. Ia tiba-tiba merasa terserang deja vu, sampai ia harus menahan diri untuk tidak meraih dan menyentuh pipi gadis itu. Meski ia urung berbuat begitu, jari-jarinya tetap terasa kelu.
Huh, umurku empat-empat, pikirnya. Dan dia tak mungkin lebih dari dua puluh. Demi apa dia datang ke sini? “Kau suka pemandangannya?” ia bertanya dengan suara yang terang.
“Oh, iya,” jawabnya sambil berbalik dan mengayunkan kedua tangannya dengan girang. “Menakjubkan sekali, bukan?”
Ia mengikuti pandangan gadis itu. “Ya,” timpalnya, “tentu saja.” Di bawah mereka terlihat lagi hamparan hutan yang merambah sampai ke dataran rendah yang berwarna kehangatan, lalu melintasi suatu perkampungan, dan akhirnya mulai menghilang di pos perbatasan dekat pinggiran kota. Di kejauhan, tampaklah siluet Cove City yang tersamarkan kabut seperti kastil abad pertengahan dalam dongeng-dongeng. “Kau datang dari kota juga?” ia bertanya.
“Yah, semacam begitu,” gadis itu menjawab. Gadis itu melempar senyum pada Randolph lalu meneruskan, “Saya datang dari Cove City dua ratus empat puluh tahun dari sekarang.”
(bersambung)
Leave a Comment