Skip to content

Month: July 2013

Bahagia Itu…

Credits to statusnya Disa di Line.

Orang Buddha bilang, bahagia adalah lepas dari kebutuhan.

Manusia punya kebutuhan dasar: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Ketika semua ini sudah terpenuhi maka orang akan merasa puas dus  bahagia. Tapi kepuasan ini hanya sementara. Lama-kelamaan orang tidak lagi mengindahkan kebutuhan dasarnya, taking it for granted. Mereka merasa punya kebutuhan lain semisal televisi, perabotan, atau kendaraan pribadi. Bahkan jika kebutuhan-kebutuhan tadi sudah terpenuhi, orang akan kembali mengabaikannya dan menemukan kebutuhan-kebutuhan baru.

Berbagai tingkat kebutuhan menurut psikolog Abraham Maslow (1908-1970).
Berbagai tingkat kebutuhan menurut psikolog Abraham Maslow (1908-1970).
[Wikipedia]
Singkatnya, kebutuhan itu bertingkat-tingkat. Ketika orang sudah terpenuhi satu tingkat kebutuhannya, maka ia akan berusaha memenuhi kebutuhannya di tingkat berikutnya. Demikian seterusnya. Tapi kebutuhan seseorang belum selesai sampai di puncak “piramida kebutuhan” seperti di atas saja.

Orang mengejar kebahagiaan dengan berusaha memenuhi semua kebutuhannya. Tapi banyak yang lupa bahwa “kebutuhan” sifatnya tak terbatas. Orang akan selalu lupa dan abai dengan kebutuhan yang sudah berhasil dipenuhi. Sebaliknya, mereka selalu membutuhkan sesuatu yang lebih indah dan lebih baik. Manusia adalah makhluk yang cenderung serakah dan tak akan pernah puas, begitulah ilmu ekonomi menerangkan pada kita.

Dari sanalah barangkali orang Buddha mengambil filosofi bahwa bahagia adalah lepas dari kebutuhan. Padahal, kebahagiaan sendiri adalah suatu kebutuhan. Orang butuh untuk menjadi bahagia. Kelihatan aneh? Mungkin bisa kita katakan: untuk bisa berbahagia, berhentilah mengejar kebahagiaan.

Lagipula, bahagia menurut siapa? Menurut motivator yang standarnya macam-macam dan kurang jelas? Menurut para CEO yang selalu ingin lebih kaya? Menurut penguasa yang senantiasa berharap kekuasaannya bertambah? Rupanya, bahagia tergantung bagaimana kita sendiri menilainya.

Pada akhirnya kita bisa berbahagia menurut pemahaman kita sendiri. Orang Buddha mengharuskan dirinya lepas dari kebutuhan karena kebutuhan itu pada akhirnya akan berujung kesengsaraan, seperti kehilangan atau kematian. Dan orang Islam akan menunjuk firman Allah bahwa hidup di dunia ini tidak lebih dari sekadar main-main dan senda gurau belaka,  dan bahwa kampung akhirat lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (Al-An’aam [6:32]).

Leave a Comment

“High school never ends”

That deplorable statement. Come on. It sucks, man, but high school does end. From here on, you will have to find yourself new friends. Also, you will be separated from your old friends. You feel like you’re old already. You think that what lies ahead is no more than a painful life at college and work and work and all the miserable, ugly, truth about real life the adults may have had warned you of.

While I’m not an adult yet, at least I can assure myself that there’s nothing to be feared about. We all grow up. As soon as we get older and no longer enjoyed things we’ve enjoyed as kids, we’ll find other kinds of enjoyment. Life’s difficult, it is, but at least not impossible to live.

Good news, though. You’re still considered a teenager until you reach twenty. Even when you’ve eventually been a 20-ish person, you’re still considered young by the society until you’re at least 25 (or if you get wrinkles sooner).  But it also could be 30 or even 45. So, take your time, especially if you’re still under 18 by the time of your graduation.

Anyway, congrats on graduating and starting your new life at college. 😉

3 Comments

Puisi XX, Pablo Neruda

[youtube=”https://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=yanU4dFC7lU”]
Pablo Neruda adalah seorang pujangga kenamaan asal Chile yang lahir tahun 1904 dan wafat tahun 1973. Selain menggubah puisi, beliau juga seorang diplomat yang konon pernah tinggal di Hindia Belanda. Di masa sekarang, pemenang Hadiah Nobel bidang sastra tahun 1971 ini dikenal sebagai salah satu pujangga termasyhur abad XX.

Pablo Neruda menulis puisi pertamanya di usianya yang kesepuluh. Pada usia 19 tahun, antologi puisinya yang berjudul Veinte poemas de amor y una canción desesperada (Bhs. Indonesia: Dua Puluh Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa) diterbitkan. Antologi ini mengundang kontroversi karena muatannya yang dianggap terlalu sensual dan pengarangnya yang terbilang masih belia. Di sisi lain, antologi inilah yang melejitkan nama Pablo Neruda sebagai pujangga besar.

Puisi di bawah ini bisa menjadi gambaran gaya berpuisi beliau. Ini sebenarnya cuma terjemahan separuh-separuh entah benar entah salah dari versi bahasa Inggrisnya. Kalau ingin membandingkan, silakan lihat di sini. Mohon koreksinya bila ada yang salah. 😉

XX

Aku Menulis

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.

Aku tulis, semisal, “Langit malam berbintang
dan bintang-bintang kebiruan menggigil di kejauhan.”

Angin malam bersemilir di awang-awang dan bernyanyi.

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.
Dulu aku mencintainya, dan kadang dia pun mencintaiku.

Di malam-malam seperti ini, aku dekap dia dengan kedua tanganku.
Aku kecup dia lagi dan lagi di bawah naungan langit yang mahaluas.

Dulu dia mencintaiku, dan kadang aku pun mencintainya.
Betapa aku dulunya tak berdaya dengan kedua mata besarnya
yang tegar.

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.
Kupikir aku tak lagi memiliki dia. Kurasa aku telah
kehilangan dia.

Aku dengar sunyi malam belantara, tambah belantara tanpa dirinya.
Dan bait-bait turun ke kalbu seperti embun kepada pekarangan.

Apalah artinya jika cintaku tak dapat menjaganya.
Langit malam berbintang, dan dia tak bersamaku.

Beginilah. Di kejauhan, seorang bernyanyi. Di kejauhan.
Jiwaku tak rela kehilangan dirinya.

Mataku mencari-cari seolah ingin mendekapnya.
Hatiku mencoba mencarinya, dan dia tak bersamaku.

Malam-malam yang sama menyinari pohon-pohon yang sama.
Namun aku dan dia tak lagi sama.

Aku tak lagi mencintainya, tentu, tapi betapa aku dulu mencintainya.
Suaraku mencari angin agar dapat menjamah gendang telinganya.

Yang lain. Dia akan jadi milik yang lain. Dia yang dulu sebelum ciumanku.
Suaranya, tubuhnya. Matanya yang tak berbatas.

Aku tak lagi mencintainya, tentu, tapi mungkin aku mencintainya.
Cinta hanya sekejap, namun sungguh lama melupakannya.

Karena di malam-malam seperti ini aku dekap dia
hingga jiwaku tak rela telah kehilangan dirinya.

Tapi ini akan jadi siksa terakhir yang dia hempaskan kepadaku
dan inilah bait terakhir yang aku tulis untuknya.

2 Comments
In word we trust