Skip to content

Antariksa Akhmadi Posts

Menjadi (2022) [respons pembaca]

Aslinya ditulis di Goodreads: https://www.goodreads.com/review/show/5087388772. Dipublikasikan ulang dengan beberapa tambahan dan perbaikan redaksi.

  1. Jarang ada orang Indonesia yang bisa nulis dengan perspektif selebar ini. Orang-orang “intelektual” di sini seringkali sudah punya ranah spesialisasi masing-masing. Akibatnya, meski tulisan-tulisan mereka banyak yang bisa tajam menghujam jantung persoalan, namun tidak terlalu menarik buat orang yang bukan pemerhati subjek yang dibahas, sebutlah di bidang-bidang sains, ekonomi, sosiologi, atau kebudayaan. Bukunya Afu ini tampak sudah bebas dari sekat-sekat keilmuan yang kaku itu, dan dari situ dia bisa meramu sebuah “cerita” yang unik, mengupas masalah-masalah masyarakat dengan cermat, tapi juga dengan sisi manusiawi yang semua orang bisa nyambung.
  2. Secara umum, buku ini terbagi jadi 3 bagian yang bisa menggambarkan urut-urutan proses “menjadi” yang diangkat sebagai judul. Bagian A (Umbi, Serambi, Bahari) berfokus pada mengapa dan bagaimana berpikir kritis, baik untuk memahami diri sendiri, memahami masalah, maupun memahami orang lain (empati). Bagian B (Membuka Jendela Pemikiran) banyak mengupas proses berpikir Afu dalam menanggapi tarik-menarik permasalahan-permasalahan hidup yang penting menurut perspektifnya (privilese vs. ketimpangan, nasionalisme vs. humanisme, ekonomi vs. lingkungan). Sementara itu, Bagian C (Bergerak dengan Kaki) berisi langkah-langkah dan rambu-rambu yang bisa diikuti untuk mewujudkan perubahan di dunia sebagai tahap final dalam “menjadi.”
  3. Di halaman 127, Afu menyebut tentang “membangun kembali angkatan intelektual Indonesia” yang sempat hilang lantaran Orde Baru. Mirisnya, sampai 24 tahun paska robohnya Orde Baru dan tegaknya Reformasi ini, rasa-rasanya masih belum ada “angkatan intelektual Indonesia” itu, kaum public intellectuals dari orang-orang di generasi Y dan Z. Tapi, membaca Menjadi ini membuatku agak optimis kalau mungkin kelompok orang-orang intelektual itu akan muncul dengan buku semacam ini sebagai pemicunya.
  4. Aku suka banget dengan banyaknya alat-alat berpikir atau mental models yang dikenalkan di Menjadi ini, seperti sistem I dan II dalam berpikir, tahap-tahap pendewasaan-nya Kegan, konsep need for cognitive closure, eksternalitas, ekonomi donat, sampai dikotomi reformis-revolusionis dalam manajemen perubahan. Rasa senangku ketika dikenalkan perkakas-perkakas konsep ini buat memperbaiki metode berpikirku mungkin sama dengan bapak-bapak habis belanja dari toko bangunan berupa toolbox yang isinya lengkap banget buat menunjang segala aktivitas pertukangan di rumah.
  5. Walaupun buku ini penuh dengan pergumulan dalam proses “menjadi” yang filosofis/etis/spiritual nan tidak duniawi, tapi sebetulnya Menjadi juga sekaligus bisa dipakai sebagai panduan yang bagus buat menentukan arah karir bekerja, rencana studi, esai kontribusi dan personal statement buat aplikasi beasiswa, bahkan mungkin rencana terjun ke politik praktis bagi yang memang berminat ke arah sana. Hehehe. Alat-alat berpikir dalam buku ini memungkinkan untuk diterapkan ke hal-hal seperti tadi, terutama di bagian C. Jadi, ini buatku satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa berpikir kritis atau refleksi diri atau berfilsafat atau “menjadi” itu bukan hanya kegiatan waktu senggang untuk menunjukkan privilese saja (mungkin istilah yang tepat untuk ini navel-gazing). Ia punya nilai yang sangat praktis dan sangat bisa diterapkan sebagai siasat bertahan hidup dan, pada akhirnya, untuk memenangkan the game of life.
  6. Pada akhirnya, sesuai anjuran Afu sendiri di akhir buku, aku menemukan titik-titik perseberangan pendapat. Titik perbedaan pendapatku yang terbesar adalah dari soal proses “menjadi” yang digambarkan linear sesuai dengan alur hidup. Buku ini ditulis dengan asumsi bahwa ada titik awal dan akhir yang jelas dalam proses “menjadi.” Ini bisa terlihat dari proses dialektika Hegelian yang dikutip Afu dengan tesis-antitesis-sintesisnya. Tapi, bisa juga kita katakan kalau proses pengembangan diri tidaklah seruntut itu. Afterall, life is messy, paradoxical, and full of randomness. Banyak hal yang tidak dapat terjelaskan dalam bentuk narasi (re: narrative fallacy, fooled by randomness), apalagi kalau urusannya dengan pengalaman pribadi (re: survivorship bias, Anna Karenina principle).
  7. Tentu saja, tidak bakal ada buku yang bisa menjelaskan semua hal di dunia ini alias the theory of everything. But, for me, the beauty of Menjadi is that for all its useful bits of knowledge and tools for critical thinking, it is ultimately NOT intended as a prescription of how to lead a good life, but rather as a call to action to start/restart our process of being/”menjadi”. Ini adalah hasil refleksi penulisnya atas proses “menjadi”-nya, yang bisa jadi sesuai ataupun tidak dengan situasi personal masing-masing pembaca. Akupun jadi merasa terpanggil untuk merespons apa yang sudah ditulis Afu dengan refleksi-refleksiku tentang prosesku sendiri dalam “menjadi.”

Keterangan gambar: Gambar fitur (featured image) diambil dari laman Goodreads untuk buku Menjadi (2022) (https://www.goodreads.com/book/photo/63068161-menjadi).

Leave a Comment

5 Mitos tentang Profesi Pustakawan | Bagian 1

Dari kecil, aku sering dan suka datang ke perpustakaan. Saking sukanya, sampai-sampai aku membuat keputusan buat bekerja di tempat ini. Tapi, sejujurnya, tidak pernah sekalipun terpikir soal orang-orang yang selama ini menyambung hidup di perpustakaan sebelum aku sendiri mengambil bagian di dalamnya. Banyak hal yang baru aku temukan setelah aku mencoba jadi pustakawan.

Mumpung sedang momen Hari Pustakawan (7 Juli), aku akan mencoba melihat mitos-mitos yang selama ini dipercaya orang soal profesi pustakawan dan memberi penjelasan mengapa anggapan-anggapan tersebut kurang tepat.

Karena aku sendiri pemula di bidang ini, mohon saran dan koreksi dari sejawat pustakawan dan siapapun yang lebih kompeten.

#1 Pustakawan adalah tukang jaga buku

Ketika orang bicara soal perpustakaan, pasti yang terpikir adalah sebuah meja dengan rak berisi buku-buku di belakangnya serta seseorang yang duduk di antara meja dan buku tersebut. Orang inilah yang biasa dipanggil “penjaga perpustakaan.” Waktu dulu kuliah, aku hampir tiap hari datang ke perpustakaan dan bertemu orang-orang ini. Akupun menyebut mereka sebagai “penjaga perpustakaan.” Persepsi penjaga perpustakaan ini berarti orang memandang mereka layaknya orang-orang yang jaga toko (dan bukan yang punya toko): kalau ada pelanggan syukur, kalau tidak ada pelanggan ya nganggur.

Setelah terjun langsung ke dunia isekai perpustakaan, persepsiku berubah total. Banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan para “penjaga” ini, yang sering kali tidak kelihatan dari sudut pandang pembaca atau pengunjung biasa. Misalnya, buku-buku di perpustakaan tentu tidak serta-merta ada di rak. Untuk pasal beli buku saja banyak yang harus diurus, seperti buku apa yang harus dibeli? Mengapa perlu membelinya buat perpustakaan tersebut? Bagaimana cara untuk meyakinkan penyandang dana bahwa buku-buku tersebut pantas dibeli? Kalaupun sudah dibeli, bagaimana cara memastikan agar buku-buku ini bisa dimanfaatkan seluruhnya oleh para pembaca dan tidak ada yang sia-sia dibeli? Bagaimana cara agar seorang pembaca bisa menemukan buku yang dia inginkan, bahkan kalaupun orang tersebut tidak tahu judul buku yang dia cari? Buat yang mencarikan pun, bagaimana petugas memberi rekomendasi atau menemukan buku yang diinginkan pembaca padahal koleksi di perpustakaan sangat banyak (bisa ribuan, ratusan ribu, hingga jutaan) dan petugas sendiri tidak mungkin tahu semua judul buku tersebut? Bagaimana kalau bukunya tidak ada? Apakah cukup kalau petugas bilang “tidak ada”? Bagaimana kalau buku-bukunya sudah diganti buku digital dan sumber-sumber dari internet? Apakah sumber yang valid cuma buku? Kalau nggak hanya buku, apalagi sumber informasi yang bisa kita percaya? Bagaimana cara membuktikan kalau informasi tersebut bisa dipercaya? Bagaimana cara menarik orang untuk datang ke perpustakaan? Lagipula, buat apa ada perpustakaan? Apakah kita masih butuh perpustakaan? Kalaupun iya, bagaimana kita meyakinkan orang lain, terutama masyarakat dan para pemangku kepentingan yang punya sumber daya, bahwa kita masih butuh perpustakaan?

Semua pertanyaan ini terkesan sederhana. Namun, ketika menjawab satu pertanyaan, banyak lagi pertanyaan yang muncul. Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut pun memerlukan disiplin ilmu tersendiri untuk menjawabnya. Orang-orang yang bisa menjawab keraguan-keraguan di atas inilah yang disebut pustakawan.

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas juga terlihat bahwa pustakawan pun sebenarnya tidak hanya duduk diam menunggu pembaca. Mereka harus juga menulis laporan-laporan, salah satunya untuk mempertanggungjawabkan anggaran untuk pembelian buku dan koleksi lainnya. Ada pula laporan lain dalam bentuk pantauan sehari-hari, misalnya untuk mencatat kendala yang terjadi selama pelaksanaan layanan perpustakaan. Pustakawan juga ikut menjaga keamanan perpustakaan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan atau orang-orang yang membuat keributan. Selain itu, banyak pula pustakawan yang harus mempersiapkan kegiatan di perpustakaan supaya lebih banyak orang tertarik untuk berkegiatan di sana. Salah satunya adalah dengan pertunjukan dan storytelling buat anak-anak. Bisa juga pustakawan mengadakan kegiatan book club atau kelas komputer atau seminar-seminar terkait cara menggunakan sumber ilmiah dengan narasumber dirinya sendiri. Belum lagi harus terus-menerus memastikan bahwa katalog buku dalam bentuk database harus selalu terbarui dan isinya akurat. Siapapun yang pernah ngurus database pasti akan paham bahwa hal ini nggak semudah yang dibayangkan. Intinya, banyak sekali hal yang dilakukan oleh pustakawan selain duduk di meja pelayanannya. 🙂

Pustakawan tidak hanya sekadar “penjaga perpustakaan” atau “tukang jaga buku.” Sama halnya dengan apoteker yang tidak bisa hanya dianggap sebagai “penjaga apotek” atau “tukang obat.” Bahkan, mereka perlu sekolah profesi tersendiri setelah kuliah 4 tahun lamanya sebelum pantas disebut sebagai farmasis alias apoteker.

Rujukan

The Rambling Librarian. 2005, 27 September. “Questions about becoming a librarian.” http://ramblinglibrarian.blogspot.com/2005/09/questions-about-becoming-librarian_27.html

Tentang Gambar

Ilustrasi di pos ini berasal dari serial novel, manga, dan anime Honzuki no Gekokujou atau Ascendance of a Bookworm. Karakter utamanya adalah seorang calon pustakawan yang mati tertimpa robohan rak buku dan bereinkarnasi jadi anak kecil bernama Main. Walaupun sangat suka buku, Main kesulitan mencarinya karena ia sekarang hidup di dunia abad pertengahan di mana buku sangat langka. Ia juga terlahir kembali warga kelas rendahan, yang dianggap tidak pantas buat membaca buku. Oleh karena itu, Main bertekad memanfaatkan yang sudah dia dapat dari bacaan-bacaannya untuk bisa membuat dan menerbitkan buku dengan caranya sendiri.

Menurutku baik novel dan anime ini cukup bikin nagih. Ceritanya ternyata jauh lebih seru kalau mengingat sinopsisnya yang nggak membuat orang semangat nonton kayak di atas. 😅 Walaupun judulnya berbau-bau perbukuan, tapi isi ceritanya banyak sekali yang nggak menyangkut buku, kok. Pokoknya seru buat diikuti.

Ascendance of a Bookworm bisa ditonton gratis di Muse Indonesia (Takarir Bahasa Indonesia) dan dibaca versi novelnya di aplikasi Storytel (dengan sistem langganan aplikasi per bulan seperti Spotify).

2 Comments

Puisi tentang Informasi (dan Sekilas Piramida DIKW)

Sang Elang terbang di pucuk Langit,
Sang Pemburu dengan anjingnya mengejar arah terbangnya.
Wahai bintang-bintang yang beredar tak henti,
Wahai musim-musim yang selalu silih berganti,
Wahai dunianya musim semi dan gugur, yang lahir dan yang mati!
Tiada hentinya putaran gagasan dan tindakan,
Penemuan tiada akhir, percobaan tiada akhir,
Membawa pengetahuan akan gerakan, namun tidak ketenangan;
Pengetahuan akan bicara, namun tidak dengan diam;
Pengetahuan akan kata-kata, dan kebodohan akan Kata.
Semua pengetahuan mendekatkan kita pada kedunguan,
Semua kedunguan mendekatkan kita pada kematian,
Tapi dekat dengan mati tanpa dekat dengan Tuhan.
Di mana Hidup kita yang tenggelam dalam bertahan hidup?
Di mana kebijaksanaan kita yang tenggelam dalam pengetahuan?
Di mana pengetahuan kita yang tenggelam dalam informasi?

Berputar-putarnya langit selama dua puluh abad
Menjauhkan kita dari Tuhan dan membawa kita jadi Debu.

Dikutip dari “Choruses from The Rock” karya T.S. Eliot, terjemahan sendiri

Yang spesial dari petikan korus drama The Rock di atas bukan sang penulis T.S. Eliot yang tidak asing dibahas di program studi Bahasa dan Sastra Inggris, bukan pula kualitas untaian katanya secara sastra, meskipun kedua hal ini juga sudah membuat petikan ini di atas rata-rata karya puisi lain. Pada dua bait yang aku tebalkan di atas, ada beberapa konsep yang digambarkan berkaitan satu sama lain. Kebijaksanaan dikatakan tenggelam dalam pengetahuan, dan pengetahuan itu sendiri digambarkan tenggelam dalam informasi. Artinya, menurut Eliot, informasi (information) itu bisa disaring menjadi pengetahuan (knowledge), dan pengetahuan bisa disaring lagi menjadi kebijaksanaan (wisdom). Inilah yang dikutip sebagai asal mula dari istilah Piramida DIKW.

Bagan Piramida DIKW (data, information, knowledge, wisdom). Sumber: Soloviev (2016) dalam Baldassare (2016).

Piramida DIKW (DIKW Pyramid) terdiri dari empat hal yang tersusun bak piramida.

Yang pertama adalah data. Data dapat kita artikan sebagai sinyal, simbol, atau fakta yang ada dalam dunia. Contohnya, ketika kita lihat warna merah, merah itu bisa dilihat sebagai data.

Selanjutnya ada konsep informasi (information), yang bisa kita jabarkan sebagai “data yang berguna.” Bagaimana cara kita bisa membuat data jadi berguna? Caranya adalah dengan memberikan dan menjawab pertanyaan atas data tersebut. Ketika tadi kita melihat warna merah, kita bisa menanyakan, “Ada di mana warna merah itu?” Misalkan saja kita lihat warna tadi di lampu lalu lintas di perempatan jalan. “Kapan warna merah itu terlihat?” Andaikan kita melihatnya pada saat kita membawa kendaraan waktu pergi ke kantor. Dari sini, data berupa warna merah itu sudah bisa kita simpulkan menjadi informasi tentang isyarat lampu lalu lintas yang ditujukan kepada orang yang sedang berkendara.

Berikutnya, informasi diolah lagi menjadi suatu pengetahuan (knowledge). Definisi pengetahuan lebih sulit dijelaskan, tapi secara singkat kita bisa menganggap pengetahuan itu sebagai berbagai kepingan informasi yang terpadu menjadi suatu susunan yang bisa dimengerti. Dari contoh tentang lampu merah tadi, setelah kita mengumpulkan banyak informasi, tidak saja mengenai lampu merah dan situasi kita di tempat tersebut, tapi juga informasi lain mengenai tata cara berlalu lintas dan tata cara berkendara yang kita pelajari waktu ujian SIM, kita jadi tahu bahwa pada saat kita melihat warna merah di lampu lalu lintas, kita diwajibkan untuk berhenti.

Terakhir, di puncak piramida, ada konsep kebijaksanaan (wisdom). Ini lebih sulit lagi diartikan ketimbang pengetahuan, tapi pendeknya dapat kita katakan bahwa kebijaksanaan itu ialah kemampuan atau keadaan seseorang untuk memilih dan melakukan hal yang benar (what is right) dan hal yang terbaik (what is best) berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang mereka punya. Masih dengan contoh lampu merah, jika kita orang yang bijaksana, maka kita akan bijak memilih untuk menghentikan kendaraan saat melihat warna merah di lampu lalu lintas perempatan. Banyak orang yang tahu arti warna merah di lampu lalu lintas dan apa yang harusnya mereka lakukan, tapi mereka tidak cukup bijak sehingga memilih untuk langsung menerabas. Mereka kurang mempertimbangkan beberapa pengetahuan yang lain yang harusnya atau bahkan sudah mereka punya, semisal tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan dan efek dari kecelakaan tersebut atas keselamatan badan mereka.

Gambaran lain tentang DIKW dalam bentuk proses, dengan tambahan konsep pemahaman/understanding dan juga pengetahuan yang sifatnya tersurat (e = explicit) dan tersirat (t = tacit). Sumber: Wikimedia Commons.

Puisi T.S. Eliot tadi memasukkan informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan, tapi tidak dengan data. Ini bisa kita mengerti karena konsep yang kita kenal sekarang soal data (seperti misalnya dalam istilah data di komputer, data penelitian, atau jargon data science dan big data) itu baru populer setelah drama yang memuat bait puisi ini terbit pada tahun 1934. Lebih tepatnya lagi, konsep data baru umum digunakan setelah ditemukannya komputer modern dari konsep Mesin Turing (Turing Machine) yang digagas ilmuwan Alan Turing sekitar tahun 1936.

Piramida DIKW buatku sangat membantu sebagai alat berpikir (mental model), walau tentu banyak yang akan tidak sepakat dengan pengertian-pengertian di atas. Menurutku, Piramida DIKW ini skema yang lebih sederhana ketimbang model-model mengenai pengetahuan yang lain, seperti Taksonomi Bloom. DIKW ini juga punya posisi yang spesial buatku karena aku sendiri juga bekerja di bidang yang terkait dengan informasi (khususnya ilmu perpustakaan dan informasi), banyak yang terpikir bahkan dari membaca petikan puisi TS Eliot di atas saja. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk menggali konsep ini lebih jauh lagi. 😀

Leave a Comment

Titik Biru

Lihatlah lagi titik itu. Itulah tempat kita. Itulah rumah kita. Itulah kita. Di sanalah hidup semua orang yang kita cintai, semua orang yang kita kenal, semua orang yang pernah kita tahu, semua orang yang pernah hidup. Seluruh bahagia dan derita, beribu-ribu agama, ideologi, dan gagasan ekonomi yang dipercaya, semua pemburu dan peramu, semua pahlawan dan pecundang, semua pencipta dan pemusnah peradaban, semua raja dan jelata, semua muda-mudi yang pernah jatuh cinta, semua ibu dan ayah, anak-anak mereka yang penuh cita-cita, penemu dan penjelajah, semua guru kebajikan, semua politikus busuk, semua “bintang terkenal”, semua “pemimpin besar”, semua pendeta dan pendosa sepanjang sejarah spesies kita, mereka semua hidup di sana—hanya setitik debu yang mengambang di tengah sinar matahari.

Bumi adalah panggung yang teramat kecil di tengah-tengah belantara alam raya. Bayangkanlah banjir darah yang ditumpahkan para jenderal dan kaisar dengan segala kegagahan dan keangkuhan hanya supaya mereka bisa jadi penguasa sesaat atas secuil dari titik itu. Bayangkanlah kekejian yang tiada henti dilakukan penduduk secuil titik itu kepada penduduk secuil titik di sudut lainnya, betapa seringnya mereka berselisih paham, betapa seringnya mereka saling membunuh, betapa mendidih kebencian di antara mereka.

Kesombongan kita, rasa congkak kita, khayalan seolah kitalah yang punya posisi penting di alam semesta, semua itu dimentahkan oleh sebintik titik pucat ini. Planet kita hanyalah butiran yang mengambang sendirian di kegelapan kosmos. Dalam kesepian kita, di tengah belantara ini, tidak ada tanda-tanda siapapun dari manapun yang bisa menolong kita dari diri kita sendiri.

Bumi ini adalah satu-satunya tempat yang memiliki kehidupan. Tidak ada tempat lain yang bisa kita huni, setidaknya dalam waktu dekat. Mampir, bisa. Tinggal, belum. Suka tidak suka, saat ini Bumilah titik darah penghabisan kita.

Ada yang mengatakan bahwa astronomi mengajarkan kerendahan hati dan membangun karakter. Rasanya tidak ada lagi bukti betapa bodohnya kesombongan manusia selain gambar yang menunjukkan betapa mungilnya dunia kita ini. Bagi saya, ini menunjukkan betapa kita perlu mawas diri agar berbuat lebih baik kepada sesama, dan agar kita dapat melestarikan dan merawat titik biru pucat ini, satu-satunya rumah yang kita punya.

Dipetik dari “Pale Blue Dot” karya Carl Sagan. Terjemahan sendiri.
Foto Pale Blue Dot yang diambil dari Voyager 1 pada tanggal 14 Februari 1990. Diambil dari Wikimedia Commons.

Sering kita larut dalam kesibukan dan rutinitas hidup sehari-hari dengan segala kegilaannya. Beberapa kali kita merasa dalam kejenuhan yang tak larut-larut. Tak jarang kita bertemu masalah besar yang seolah-olah mengancam diri kita. Kita sibuk dengan secuil bagian bumi yang kita kitari sehari-hari, entah itu rumah, kantor, sekolah, jalan raya, dan lain-lain. Jarang sekali kita berpikir soal kecilnya dan singkatnya kita di dunia ini.

Dunia ini sangatlah kecil dan hidup kita sangatlah singkat jika dibandingkan dengan luasnya dan tuanya alam semesta. Seperti yang digambarkan kutipan buku Pale Blue Dot di atas, manusia sehebat apapun tidak ada artinya apa-apa dibanding dengan alam yang kita tinggali ini. Sungguh dunia ini rapuh, begitu pula kita.

Sekitar tiga tahun lalu, aku membaca trilogi novel China Remembrance of Earth’s Past karya Liu Cixin atau yang sering dikenal sebagai Three-Body Problem Trilogy. Fiksi ilmiah ini bercerita soal bumi, manusia, dan riwayat mereka di sepanjang sejarah kosmos. Awal cerita ini adalah tahun 1966 saat Revolusi Kebudayaan di China, dan pada bagian terakhir pembaca disajikan cerita 18 juta tahun di masa depan. Terus terang, begitu tamat jilid terakhir dari trilogi ini aku langsung menangis, bukan karena ceritanya sedih, tapi karena aku merasa begitu tidak ada apa-apanya dibanding alam semesta ini, yang di sinipun aku hanya akan sekadar mampir jika dibandingkan usia dunia ini yang sudah jutaan tahun. Bahkan, Presiden Barack Obama sampai bilang kalau pengalamannya baca buku ini membuat urusan politik yang dia hadapi sehari-hari serasa begitu remeh.

Satu lagi bacaan yang membuatku berpikir soal betapa kecil dan rapuhnya dunia ini adalah manga Bokurano karya Mohiro Kitoh. Di Bokurano, dunia kita dan semua isinya ini menjadi taruhan dalam permainan memperebutkan eksistensi melawan dunia paralel lainnya. Karakter-karakter di dalamnya bergelut dengan kematian diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka cintai. Dari buku ini aku memahami bahwa hidup adalah sesuatu yang layak diperjuangkan, meski planet yang kita tinggali ini berisi kejadian-kejadian seram dan orang-orang jahat.

Saatnya hidup ini dihayati sebagaimana mestinya: sebagai perjalanan yang terasa panjang tapi sejatinya amat singkat, sebagai tantangan yang terasa amat besar tapi sejatinya tiada apa-apanya dibandingkan belantara raya yang kita tinggali, dan sebagai kesempatan untuk terus berpikir dan belajar sekuat-kuatnya karena sejatinya sampai kita nanti mati pun hanya sedikit rahasia alam yang bisa kita mengerti.

Leave a Comment

Love Is…

We cannot escape love. Every language has a word that can be translated as “love.” Every person of every race, religion, and nation, has probably experienced it or at least know about it. It has been the subject of many songs, books, movies, and other works of art. Love is so commonly seen and heard, and yet, when you really think about it, it’s not easy to answer the question, “what is love?”

A lot of people probably would find it difficult to communicate their understanding of love, even though they have certainly experienced it. I have been in love before. And yet, it’s hard for me to explain what it is without using a dictionary. In fact, I tried to look up the definition of “love” on a dictionary, and I don’t quite agree with it.

An easier way to understand love, I believe, is through metaphors. In the book Metaphors We Live By (1980) linguists George Lakoff and Mark Johnson argued that we make sense of the world around us by using metaphors, that is, using one thing to explain another thing even when they have entirely different characteristics. We usually talk and write in metaphors to communicate abstract things like concepts, ideas, or feelings through other things that we can sense with our eyes, ears, hands, or other physical means.

Kaguya-Sama: Love is War might be inspired by a certain cognitive linguistics book. Taken from Wikipedia.

For example, the book mentioned the following metaphor:

TIME IS MONEY

You’re wasting my time.
This gadget will save you hours.
I don’t have the time to give you.
How do you spend your time these days?
That flat tire cost me an hour.
I’ve invested a lot of time in her.
I don’t have enough time to spare for that.
You’re running out of time.
You need to budget your time.
Put aside some time for ping pong.
Is that worth your while?
Do you have much time left?
He’s living on borrowed time.
You don’t use your time profitably.
I lost a lot of time when I got sick.
Thank you for your time.

George Lakoff & Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By.

We use similar words to describe time and money. If someone said, “I’ve invested a lot of time in her,” we can instantly understand that the person is not trying to make a profit just like when we put money into stocks and mutual funds. However, we can see the relation between time and money here. Time is treated as a resource which can we have a lot of or not have at all. This is even though we couldn’t see and store time the way we can put money in our hands, count them, and put them in our wallets or piggy banks. If we try to describe time just as it is, we run into trouble pretty quickly since it is so abstract. And yet, when we use metaphors such as time is money mentioned above, we can instantly understand it through comparing two very different things.

In the same way, we might be unable to explain love through a series of definitions. Just like time, love is an abstract concept, so abstract that even similar kinds of people can have disagreements about what it is. This is where the beauty of metaphor kicks in: you don’t need to point it out explicitly, but you can get a solid grasp by comparing the thing you want to understand to a more concrete object. Lakoff and Johnson wrote several common and easily relatable metaphors about love:

LOVE IS A JOURNEY

Look how far we’ve come.
We’re at a crossroads.
We’ll just have to go our separate ways.
We can’t turn hack now.
I don’t think this relationship is going anywhere.
Where are we?
We’re stuck.
It’s been a long, bumpy road.
This relationship is a dead-end street.
We’re just spinning our wheels.
Our marriage is on the rocks.
We’ve gotten off the track.
This relationship is foundering.

LOVE IS A PHYSICAL FORCE (ELECTROMAGNETIC, GRAVITATIONAL, etc.)

I could feel the electricity between us. There were sparks. I was magnetically drawn to her. They are uncontrollably attracted to each other. They gravitated to each other immediately. His whole life revolves around her. The atmosphere around them is always charged. There is incredible energy in their relationship. They lost their momentum.

LOVE IS A PATIENT

This is a sick relationship. They have a strong, healthy marriage. The marriage is dead—it can’t be revived. Their marriage is on the mend. We’re getting hack on our feet. Their relationship is in really good shape. They’ve got a listless marriage. Their marriage is on its last legs. It’s a tired affair.

LOVE IS MADNESS

I’m crazy about her. She drives me out of my mind. He constantly raves about her. He’s gone mad over her. I’m just wild about Harry. I’m insane about her.

LOVE IS MAGIC

She cast her spell over me. The magic is gone. I was spellbound. She had me hypnotized. He has me in a trance. I was entranced by him. I’m charmed by her. She is bewitching.

LOVE IS WAR

He is known for his many rapid conquests. She fought for him, but his mistress won out. He fled from her advances. She pursued him relentlessly. He is slowly gaining ground with her. He won her hand in marriage. He overpowered her. She is besieged by suitors. He has to fend them off. He enlisted the aid of her friends. He made an ally of her mother. Theirs is a misalliance if I’ve ever seen one.

George Lakoff & Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By.

As I said earlier, I don’t really relate to dictionary definitions about love since they are so abstract, and there are parts of those definition that I don’t agree. Metaphors such as these, though, are instantly understandable. I can relate these metaphors to my past love experiences, specifically my bad experiences with it.

When I first fell in love, I thought that I wasn’t behaving normally. Usually a rational kind of person, I suddenly became erratic. I couldn’t speak well, eat well, sleep well. Certainly, something was wrong with me. I have gone mad over that person. For me at that time, love is madness.

There were moments when I couldn’t point out why I was into that person. It felt as if it came out of nowhere. I did not become in love out of my own free will. In fact, I believed that I was bewitched. This was me thinking that love is magic.

At another moment in life, I was in love with a person that was loved by another person. I was constantly thinking about how to make the person I love to choose me over that another person, who I sorta kinda treated as an enemy. I came up with actions and clever words to impress that person (side note: I am a cis-het and was referring to girls all along; I just like to keep my references gender-neutral 😉). I had to defeat my enemy to win my love. When I didn’t get into relationship with the person that I loved, I thought of myself as a loser, while that other person became a winner. This was when I believed that love is war.

I could even come up with other metaphors. When I was a teenager, one of my favorite TV series is Neon Genesis Evangelion (1995-1996). It had tons of references and dialogues about how human beings try to connect to and also are hurt by each other. Episode 4 of the anime was titled Hedgehog’s Dilemma, which is I think another metaphor for love. Hedgehog’s dilemma basically states that two lonely people trying to connect with one another are like two hedgehogs in the winter that are trying to get some warmth in the winter by getting close to one another. Unfortunately, since the hedgehogs have quills, the closer they get together, the more they hurt each other with their quills. Arthur Schopenhauer, a philosopher who first came up with this metaphor, thinks that humans are like that, too. According to his Hedgehog’s Dilemma, humans cannot love each other without also hurting the ones that they love.

Neon Genesis Evangelion (1995-1996) ep. 4 “Hedgehog’s Dilemma.” Taken from The Verge,

That’s not all! In early 2020, I happened to read a manuscript titled Djalan Sampoerna (or Jalan Sempurna Hidupku as it was titled in the National Library of Indonesia, where it was stored). I wrote a blogpost about the manuscript here. I haven’t finished reading it, but in earlier part of the manuscript, the author talked about his first love and how he lost him. Then, I came across this stirring passage:

So it became clear to me that love was of no use (tijada bergoena). Many are the Dutch sayings that show this plainly:

Liefde is vondervol (love is wonderful)!
Liefde is verschrikkelijk (love is terrifying)!
Liefde is zacht (love is soft)!
Liefde is brutal (love is brutal)!
Liefde is wreed (love is cruel)!
Liefde is heeld (love is happiness)!
Liefde is vuur (love is fire)!
Liefde is ijs (love is ice)!

And there are many other sayings that show how love can strangle those who fall into its toils. For love, many lose all their possessions. In some cases, even their innards leave their bodies. To say nothing of those who spend years and years in prison. And missing all of this because of the treachery of love. There are so many who spend their lives in misery, confusion, and suffering because their path is that of love. So it was clear to me that love was no use. For myself, there was now no room for love, for I had my own medicine (obat) for satisfying my desire. Even if I didn’t get married, it wouldn’t matter … I’d be like my friend, or the doctor in Kediri.

Djalan Sampoerna or Jalan Sempurna Hidupku (ML 524). Translated here by Benedict Anderson.

Is it true? Is love just a feeling that is involuntary, is driving us mad, and has brought us into conflict? For the better part of my life, I sincerely believed in all of this. My past experiences, my failures, and my traumas has led me to think that there is nothing to be gained from love. However, I later found out that this doesn’t need to be the case.

Metaphors We Live By has a chapter that discusses how we can construct new meanings to the things that we have previously known by creating new metaphors. It does not matter what metaphors other people use. As long as our metaphor enables us to understand reality and helps us live through it, that’s completely valid. To demonstrate this point, Lakoff and Johnson came up with an unusual but intriguing depiction of love:

LOVE IS A COLLABORATIVE WORK OF ART

Love is work.
Love is active.
Love requires cooperation.
Love requires dedication.
Love requires compromise.
Love requires a discipline.
Love involves shared responsibility.
Love requires patience.
Love requires shared values and goals.
Love demands sacrifice.
Love regularly brings frustration.
Love requires instinctive communication.
Love is an aesthetic experience.
Love is primarily valued for its own sake.
Love involves creativity.
Love requires a shared aesthetic.
Love cannot be achieved by formula.
Love is unique in each instance.
Love is an expression of who you are.
Love creates a reality.
Love reflects how you see the world.
Love requires the greatest honesty.
Love may be transient or permanent.
Love needs funding.
Love yields a shared aesthetic satisfaction from your joint efforts.

George Lakoff & Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By.

Understanding love as a collaborative work of art is certainly not something that we often see in popular culture, such as movies, songs, TV series, even commercials. We are used to the idea that love comes out of a sudden like magic instead of requiring a lot of work like creating a painting. We often act as thought love will come and grow naturally instead of having to be gained through dedication, compromise, and discipline.

This doesn’t mean that the previous, darker metaphors are not valid. After all, these depictions of love wouldn’t become so popular if people don’t relate to them. We don’t need to entirely discard our catalog of gloomy and destructive ideas about love. But we need to create new meanings.

Our prior impressions, woes, and traumas don’t need to mean that we are destined to fail and be miserable in love. Instead, by re-framing our love stories through brighter lenses, we could focus on the encouraging and more beneficial sides of love.

Leave a Comment
In word we trust