Skip to content

Tag: seni tradisional

Mengembalikan Ludruk Jawa Timur

Catatan pengantar

Tulisan ini saya buat sebagai tugas PPKMB Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Bradanaya 2013, yang diselenggarakan pada tanggal 24 dan 25 Agustus 2013. 

Mengembalikan Ludruk Jawa Timur

Antariksa Akhmadi
121311233004

Terusirnya Kesenian Tradisional

Sebelum bicara tentang bagaimana cara mengemas kesenian daerah, kita harus bertanya, “mengapa kita harus mengemas kembali kesenian daerah kita?” Sejak zaman penjajahan, baik secara sadar atau tidak bangsa Indonesia ini telah dilemahkan kebudayaannya. Segala atribut dan produk budaya yang berasal dari dalam negeri dianggap kuno dan terbelakang. Sementara itu, orang Indonesia dibuat iri dengan “kemajuan” budaya bangsa lain. Ketika kakek-nenek kita memilih berbusana adat atau berkebaya, kita sebut itu kuno dan ketinggalan zaman. Sebaliknya, jika anak-anak muda memakai pakaian dari budaya lain, sebut saja kimono, dia tidak dipandang kuno atau ketinggalan zaman. Kita tentu tahu, baik kebaya maupun kimono sama-sama merupakan pakaian tradisional. Hanya saja, banyak dari kita yang masih berpandangan bahwa seni dan budaya Indonesia itu inferior dibandingkan bangsa-bangsa lainnya.

Hiburan masyarakat di masa silam, katakanlah dua ratus hingga tiga ratus tahun lalu, masih sepenuhnya merupakan produk kesenian tradisional. Hal ini tentu tidak bisa disamakan dengan hiburan masa kini yang dikuasai oleh arus globalisasi. Jika sepuluh atau dua puluh tahun lalu orang akrab dengan ludruk Srimulat, di tahun ini siapa yang mengenal mereka? Hingga beberapa tahun silam, pagelaran wayang masih ditayangkan di televisi (meski itupun dalam porsi yang minim). Hari ini rasanya sulit sekali menemukan tayangan seperti itu. Sebagai gantinya, televisi dewasa ini lebih suka menyiarkan sinetron luar negeri, tayangan musik K-pop, atau sinema-sinema keluaran Hollywood. Apa yang ditayangkan di televisi adalah kehendak pemirsanya. Ini berarti, penonton televisi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya sudah tidak lagi tertarik dengan kesenian tradisional.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan kebanggaan masyarakat pada kesenian tradisonal? Bagaimana juga agar masyarakat tertarik untuk menyaksikan hiburan tradisional? Dalam tulisan ini, saya menggunakan kesenian ludruk sebagai contoh kasus. Bagian-bagian selanjutnya akan mengulas jatuhnya apresiasi masyarakat Jawa Timur terhadap ludruk dan bagaimana cara kembali mengangkatnya

Ada Apa dengan Ludruk?

    Apa yang terjadi dengan kesenian Ludruk tidak berbeda jauh dengan kesenian tradisional lainnya. Sudah sejak lama Ludruk dipandang sebagai hiburan bagi rakyat jelata. Bahasa serta humor yang digunakan juga sebagian besar sesuai dengan selera wong cilik. Meski terlihat baik, ini sedikit-banyak menumbuhkan rasa rendah diri bagi orang yang status sosial-ekonominya lebih tinggi. Orang-orang ini beranggapan bahwa Ludruk adalah tontonan bagi orang miskin, sehingga ada rasa enggan bagi mereka untuk ikut menikmatinya. Di lain pihak, orang-orang yang tergolong the have ini punya akses kepada produk kesenian asing seperti film Barat dan musik pop-rock yang kesannya lebih cocok dengan status mereka.

    Tidak hanya itu, arus globalisasi bukan saja menerpa golongan yang berpunya tapi juga wong cilik. Bahkan keluarga yang tinggal di bawah kolong jembatan sekalipun bisa dipastikan memiliki televisi. Televisi yang bisa ditonton setiap hari dengan berbagai ragam tayangannya tentu lebih populer ketimbang Ludruk yang kurang variatif dan hanya ditampilkan setiap minggu/bulan. Wong cilik yang mestinya jadi segmen utama penonton Ludruk malah meninggalkannya.

    Hal ini semakin diperparah dengan generasi muda yang sudah tak lagi akrab dengan kesenian tradisional, termasuk ludruk. Sedari kecil, generasi muda yang lahir sejak tahun 1990 sudah semakin jarang dikenalkan dengan ludruk. Mereka mungkin pernah mendengar nama Kartolo atau grup ludruk Srimulat tapi tak pernah menyaksikan sendiri pertunjukan mereka. Maklum saja, frekuensi pertunjukan ludruk di tahun-tahun belakangan memang sudah menurun.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

    Saya sudah sering menyinggung soal televisi sebelumnya. Memang, televisi sebagai agen utama globalisasi di Indonesia membawa peranan penting. Pengaruh dan daya jangkaunya amatlah luas. Sayangnya, media ini belum sepenuhnya diberdayakan untuk melestarikan kesenian lokal. Stasiun televisi yang menyiarkan ludruk mungkin hanya TVRI Jawa Timur. Sudah selayaknya tayangan-tayangan ludruk diperbanyak di televisi dan disiarkan lebih sering lagi pada jam-jam prime time.

    Namun, kita perlu ingat juga bahwa apa yang ditayangkan stasiun televisi adalah cerminan dari selera pemirsanya. Miskinnya tayangan ludruk di televisi menunjukkan bahwa hampir semua segmen, kaya atau miskin, tidak berselera untuk menonton ludruk. Oleh karena itu, kita perlu mencarikan format yang sesuai dengan selera masyarakat saat ini.

    Kartolo, punggawa yang tidak asing lagi di dunia ludruk, menuturkan bahwa sebuah pertunjukan ludruk perlu setidaknya 50 orang pemain dan biaya paling tidak 8 juta rupiah. Sebuah pertunjukan ludruk biasanya dilangsungkan semalam suntuk dengan diawali oleh Tari Remo. Format pertunjukan seperti ini tentu tidak sesuai bagi audiens dewasa ini yang attention span-nya cenderung pendek. Tema-tema tradisional dan “kejelataan” yang dipakai dalam ludruk juga harus dirombak.

    Barangkali, format yang digunakan Opera van Java bisa diadopsi. Ini tentunya bisa dilakukan juga dengan mempertahankan ciri khas ludruk sendiri, seperti geguritan, tari-tarian Remo, dan tetembangan. Jika kita bisa mengemas ludruk ini secara khas dan mampu mengakomodasi selera berbagai macam golongan, tidak diragukan lagi ia akan kembali menjadi hiburan favorit di tanah kelahirannya sendiri.

Leave a Comment
In word we trust