Skip to content

Tag: pablo neruda

Review: Tidak Ada New York Hari Ini

Tidak Ada New York Hari Ini
Tidak Ada New York Hari Ini by M. Aan Mansyur

My rating: 2 of 5 stars

Catatan (agak) penting: saya belum pernah nonton AADC, bahkan filmnya yang pertama sekalipun.

Puisi cinta memang mudah memancing perasaan, sebab semua orang pasti mengalaminya. Karena itu pulalah ia cepat jadi membosankan. Walau ada satu dua rangkai kata yang cukup saya ingat (misal “Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang” yang sangat sering dikutip itu), tapi sisa-sisanya walaupun sentimental tapi cenderung membosankan. Entahlah, saya tidak begitu suka puisi-puisi cinta Aan Mansyur walau saya tak memungkiri kecakapannya dalam merangkai kata. Saya sempat membaca terjemahan beliau atas Puisi XX karya Pablo Neruda yang elok dan saya pakai sebagai acuan membuat terjemahan saya sendiri.

Mungkin gaya berpuisi seperti kumpulan ini memang sudah sangat formulaik, contohnya pada puisi Kahlil Gibran dan Pablo Neruda yang mengkiaskan cinta dengan peristiwa-peristiwa alam seperti siang dan malam atau panas dan dingin. Sama dengan bukunya Boy Candra yang dari judulnya (“Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai”) saja sudah tampak pasaran dan mencomot gaya berjudulnya Goenawan Mohammad (“Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”). Oke, ini ngelantur.

Oh ya, saya kurang suka pula ketika buku kumpulan puisi dicampurkan dengan buku kumpulan foto. Kesannya seperti membatasi ruang imajinasi pembaca dengan menampilkan gambaran peristiwa yang ingin disampaikan sekalian. Barangkali ini karena keharusan dari filmnya, ya. Naasnya saya tidak paham karena belum (dan tidak berminat) menonton film yang memuat kumpulan ini.

Dari sampul depan sampai sampul belakang buku ini, saya tidak menemukan puisi yang betul-betul orisinal. Elok, iya. Mengena, iya. Tapi, saya tidak merasakan rasa-rasa sastra di kumpulan ini. Tidak masalah menikmati buku ini, sayang ia bakal dingin di kenangnya.

View all my reviews

Leave a Comment

Puisi XX, Pablo Neruda

[youtube=”https://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=yanU4dFC7lU”]
Pablo Neruda adalah seorang pujangga kenamaan asal Chile yang lahir tahun 1904 dan wafat tahun 1973. Selain menggubah puisi, beliau juga seorang diplomat yang konon pernah tinggal di Hindia Belanda. Di masa sekarang, pemenang Hadiah Nobel bidang sastra tahun 1971 ini dikenal sebagai salah satu pujangga termasyhur abad XX.

Pablo Neruda menulis puisi pertamanya di usianya yang kesepuluh. Pada usia 19 tahun, antologi puisinya yang berjudul Veinte poemas de amor y una canción desesperada (Bhs. Indonesia: Dua Puluh Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa) diterbitkan. Antologi ini mengundang kontroversi karena muatannya yang dianggap terlalu sensual dan pengarangnya yang terbilang masih belia. Di sisi lain, antologi inilah yang melejitkan nama Pablo Neruda sebagai pujangga besar.

Puisi di bawah ini bisa menjadi gambaran gaya berpuisi beliau. Ini sebenarnya cuma terjemahan separuh-separuh entah benar entah salah dari versi bahasa Inggrisnya. Kalau ingin membandingkan, silakan lihat di sini. Mohon koreksinya bila ada yang salah. 😉

XX

Aku Menulis

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.

Aku tulis, semisal, “Langit malam berbintang
dan bintang-bintang kebiruan menggigil di kejauhan.”

Angin malam bersemilir di awang-awang dan bernyanyi.

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.
Dulu aku mencintainya, dan kadang dia pun mencintaiku.

Di malam-malam seperti ini, aku dekap dia dengan kedua tanganku.
Aku kecup dia lagi dan lagi di bawah naungan langit yang mahaluas.

Dulu dia mencintaiku, dan kadang aku pun mencintainya.
Betapa aku dulunya tak berdaya dengan kedua mata besarnya
yang tegar.

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.
Kupikir aku tak lagi memiliki dia. Kurasa aku telah
kehilangan dia.

Aku dengar sunyi malam belantara, tambah belantara tanpa dirinya.
Dan bait-bait turun ke kalbu seperti embun kepada pekarangan.

Apalah artinya jika cintaku tak dapat menjaganya.
Langit malam berbintang, dan dia tak bersamaku.

Beginilah. Di kejauhan, seorang bernyanyi. Di kejauhan.
Jiwaku tak rela kehilangan dirinya.

Mataku mencari-cari seolah ingin mendekapnya.
Hatiku mencoba mencarinya, dan dia tak bersamaku.

Malam-malam yang sama menyinari pohon-pohon yang sama.
Namun aku dan dia tak lagi sama.

Aku tak lagi mencintainya, tentu, tapi betapa aku dulu mencintainya.
Suaraku mencari angin agar dapat menjamah gendang telinganya.

Yang lain. Dia akan jadi milik yang lain. Dia yang dulu sebelum ciumanku.
Suaranya, tubuhnya. Matanya yang tak berbatas.

Aku tak lagi mencintainya, tentu, tapi mungkin aku mencintainya.
Cinta hanya sekejap, namun sungguh lama melupakannya.

Karena di malam-malam seperti ini aku dekap dia
hingga jiwaku tak rela telah kehilangan dirinya.

Tapi ini akan jadi siksa terakhir yang dia hempaskan kepadaku
dan inilah bait terakhir yang aku tulis untuknya.

2 Comments
In word we trust