Skip to content

Tag: matahari di sebuah jalan kecil

Dramaturgi XIII: Cerita tentang Omong Kosong

[catatan: belum di-edit betul. mohon masukan pembaca sekiranya ada yang perlu diperbaiki atau bisa ditingkatkan lagi. terima kasih.]

poster dramaturgi.jpg

1. Mukadimah

Malam kemarin saya menonton pentas lakon Matahari di Sebuah Jalan Kecil. Naskah drama Arifin C. Noer ini dibawakan kembali oleh mahasiswa Sastra Indonesia UNAIR di Gedung Cak Durasim, Surabaya, pada 29 Desember 2017. Baru sekali ini saya bisa datang untuk menonton pertunjukan tahunan jurusan Sastra Indonesia yang tahun ini bertajuk Dramaturgi XIII. Seperti bayangan saya, memang dari sisi pelaksanaan dan teknis, drama ini sudah sangat rapi. Aktor-aktornya bisa terdengar jelas meski tidak pakai mikrofon yang ditempelkan ke wajah. Kesalahan teknis seperti nyala lampu, tata suara, dan lain-lainnya juga bisa dibilang nihil. Saya bisa saja berkomentar soal bagaimana pembawaan aktor dalam menghantarkan naskah yang umurnya sudah puluhan tahun itu. Namun, hemat saya, sebetulnya sudah tidak ada yang perlu ditanggapi lagi. Yang membuat saya berpikir adalah isi drama itu sendiri.

2. Ini cerita tentang apa?

Matahari di Sebuah Jalan Kecil banyak berbicara soal kejujuran. Pasal ceritanya sebetulnya sederhana: ada pemuda yang makan nasi pecel lalu tidak bayar. Katanya, uangnya ketinggalan di rumah, yang katanya masih dekat situ. Orang-orang yang bekerja di pabrik es dekat lapak simbok penjual nasi pecel kemudian ramai-ramai menginterogasi si pemuda ini. Betulkah pemuda ini memang penduduk kampung? Saat ditanyai, ternyata dia tidak bisa menjawab. Akhirnya dia dianggap berbohong dan dipaksa untuk membayar. Karena memang pemuda itu saat itu tidak membawa uang, akhirnya dilucutilah baju yang dia kenakan dan diserahkan kepada simbok penjual nasi pecel sebagai jaminan. Si pemuda bisa pergi untuk mengambil uangnya. Saat semua orang di pabrik kembali bekerja, tinggallah si pemuda yang telanjang dada dan simbok penjual nasi pecel. Tiba-tiba si pemuda menangis sambil bercerita bahwa dia datang dari desa untuk mencari kerja. Sama sekali tidak ada niat dia untuk berbohong. Simbok terenyuh juga mendengar tangisan ini, dan teringat anaknya yang dipenjara karena jadi pencuri motor. Akhirnya dia percaya bahwa pemuda ini adalah orang yang jujur dan diserahkannya kembali baju si pemuda. Setelah si pemuda pergi, datanglah petugas ronda yang sedang mencari maling. Setelah menyimak ciri-ciri yang disebutkan tukang ronda, barulah simbok sadar bahwa orang yang tadi ditolongnya adalah seorang maling. Ternyata, ia memang pembohong.

Lakon Arifin C. Noer menggambarkan tekanan dan masalah yang dialami Indonesia lewat karakter-karakternya, tidak terkecuali Si Pemuda. Mochtar Lubis, beberapa tahun setelah ditulisnya lakon ini, berpidato soal sifat-sifat bangsa Indonesia. Sifat yang pertama disebut adalah hipokrit alias munafik. Tersebab dijajah bangsa lain, orang Indonesia banyak yang belajar tidak jujur dengan menjilat penguasanya atau menilap uang negara sehingga mereka bisa bertahan hidup. Si Pemuda, dengan kepandaiannya menipu orang banyak dan mempermainkan perasaan Simbok Penjual Nasi Pecel, merupakan contoh ideal dari manusia Indonesia yang munafik ini. Agar bisa makan, dia gunakan kepandaiannya membohongi. Sekarang pun kita bisa melihat kebohongan ini. Pejabat pura-pura sakit supaya tidak dipenjara. Pedagang mencurangi timbangan supaya untungnya bertambah. Pengemis pura-pura terluka dan berdandan tak terurus supaya dikasihani. Sampai hari ini, betullah bahwa orang Indonesia masih akrab dengan sifat munafik.

dramaturgi xiii

3. Kebohongan dan omong kosong

Saat Si Pemuda mengaku uangnya tertinggal, Simbok tidak lantas percaya. Katanya, dia sudah kapok dibohongi seperti itu. Barulah waktu Si Pemuda sudah bertelanjang dada dan menangis sambil mengaku mencari kerja Simbok jadi terenyuh. Dua kali Si Pemuda berkata tidak benar. Tapi, Si Pemuda hanya berbohong di awal. Waktu “mengaku” itu, dia sudah bukan berbohong lagi. Kok bisa?

Ada dua jenis perkataan tidak benar: kebohongan dan omong kosong. Harry Frankfurt, seorang filosof berkebangsaan Amerika, berpendapat bahwa seseorang dikatakan berbohong (lying) jika tujuannya adalah menutupi suatu kebenaran. Sementara itu, orang yang mengeluarkan omong kosong (bullshit) sudah tidak peduli lagi pada kebenaran. Yang penting adalah kata-katanya bisa menarik orang lain.

Nah, inilah mengapa saya bilang Si Pemuda hanya berbohong sekali. Saat ia bilang uangnya ketinggalan dan rumahnya ada di dalam kampung, ia menutupi kebenaran bahwa dirinya sebetulnya tak punya uang dan bukan penduduk kampung. Ini dia lakukan supaya terhindar dari amuk para pekerja pabrik. Namun, saat semua pekerja pergi, dia berusaha memancing rasa iba Simbok dengan bercerita soal asal-usulnya. Di sini, dia sudah tidak lagi peduli soal benar atau salah. Yang penting, dia bisa pergi tanpa membayar nasi pecel santapannya dengan membawa kembali bajunya yang dijadikan jaminan.

4. Matinya kata-kata

Apa akibatnya kalau banyak orang munafik yang berujar omong kosong? Orang akan susah untuk membangun rasa percaya. Saat semua orang mengaku anti-korupsi, kita tidak akan tahu bedanya mana yang jujur dan mana yang maling duit rakyat. Saat sebagian orang dituduh menistakan agama dan sebagian lagi dituduh membohongi orang pakai ayat kitab suci, kita akan bingung bagaimana beragama dengan benar. Saat semua orang berkata cinta dan sayang, kita tak tahu lagi mana yang tulus dan mana yang bermanis mulut.

Akhirnya, kita tak bisa lagi saling percaya. Hilang sudah rasa empati dalam hati kita, sebab ketika kita merasa kasihan kita juga curiga bahwa orang lain hanya pura-pura saja. Saat orang datang minta-minta, kita ragu-ragu mengeluarkan uang sebab kita pernah membaca berita soal pengemis yang hanya berakting miskin tapi kedapatan punya motor sport di rumahnya. (Ini betul ada, sumbernya ada di bawah.)

Bahkan, bisa jadi hilang pula kecenderungan kita untuk setia pada kebenaran. Bagaimana tidak? Setiap hari kita dibombardir dengan omong kosong dari orang-orang munafik yang sudah tidak lagi peduli mana yang benar dan mana yang salah.

Tak mudah memang mengetahui isi hati orang, kalau tidak mau dibilang mustahil. Sebab, kita tak punya cara untuk langsung mengerti jalan pikiran dan perasaan satu sama lain. Kita hanya bisa bertukar gagasan lewat bahasa, lewat tuturan dan tulisan, lewat kata-kata. Semakin banyak omong kosong yang kita terima, semakin tidak yakinlah kita dengan kebenaran kata-kata yang dituturkan orang lain. Kita tidak bisa membedakan antara kabar benar dan berita palsu. Inilah mengapa omong kosong berbahaya buat kita.

5. Kejujuran Pengarang dan Kita

Matahari di Sebuah Jalan Kecil adalah karya Arifin C. Noer yang terbilang klasik dan banyak dipentaskan. Cari-cari saja videonya di YouTube. Namun, beliau sebetulnya lebih terkenal sebagai seorang sineas, terutama karena salah satu filmnya yang sangat terkenal dan masih banyak diperbincangkan sampai sekarang. Saya yakin teman-teman sudah pernah menontonnya. Judulnya Pengkhianatan G30S/PKI. Gara-gara film inilah orang sampai sekarang masih fobia dengan PKI dan komunisme, padahal negara-negara komunis saja sudah runtuh atau berpindah haluan. Film ini juga menjadi cerita sejarah versi Orde Baru, yang di dalamnya Pak Harto dielu-elukan dan Bung Karno disalahkan karena lalai terhadap PKI. Tidak sedikit yang menuding Arifin C. Noer turut serta menyebarkan kebohongan sejarah. Sayangnya, ini berlawanan dari pesan yang beliau sampaikan di naskah drama Matahari.

Lakon Matahari (1963) memang ditulis jauh sebelum film Pengkhianatan (1984). Keduanya diciptakan di bawah dua rezim yang berbeda (yang satu zaman Bung Karno, satunya zaman Pak Harto). Kita tidak tahu apakah beliau sadar bahwa ada kekeliruan dalam film garapannya. Menurut sebagian berita, beliau mengaku kaget saat film Pengkhianatan dijadikan tontonan wajib dan pada akhirnya menjadi karya propaganda. Barangkali beliau tahu soal beberapa hal yang salah dalam filmnya, namun terpaksa diam mengingat kondisi zaman itu. Kalau sudah begitu, masih layakkah kita berdiskusi tentang drama beliau yang berkisah soal kejujuran?

Tentu saja! Kita tentu sepakat bahwa manusia hendaknya berkata jujur. Lalu, adakah dari kita yang seumur hidup tidak pernah berbohong, tidak pernah menyontek, tidak pernah berkata yang lain daripada isi kepala kita? Saya yakin tidak. Namun, justru di situlah kita harus makin ingat pentingnya bersikap jujur, bahkan pada saat kita terpaksa menyampaikan hal yang tidak benar seperti Arifin C. Noer. Kita mesti berusaha sesetia mungkin kepada kebenaran, bahkan sekalipun kita tahu bahwa banyak penipu dan pembohong di sekitar kita. Jangan sampai mata hati kita dikaburkan oleh kebohongan dan omong kosong.

Referensi

Arifin C. Noer. Matahari di Sebuah Jalan Kecil. Berdasarkan laman http://naskahdramapbsi.blogspot.co.id/2012/11/lakon-matahari-di-sebuah-jalan-kecil.html

Indria Ambarwati. 2014. Citraan dalam Naskah Drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C. Noer. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mochtar Lubis. 1977. Manusia Indonesia. Ceramah di Taman Ismail Marzuki. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Harry Frankfurt. 2005. On Bullshit. https://www.stoa.org.uk/topics/bullshit/pdf/on-bullshit.pdf

Inilah Rumah ‘Mewah’ Pengemis Kakek Winnie The Pooh. 2015. http://surabaya.tribunnews.com/2015/06/17/inilah-rumah-mewah-pengemis-kakek-winnie-the-pooh

Intan Paramadhita. 2007. “Contesting Indonesian Nationalism and Masculinity in Cinema.” Asian Cinema 18(2): 41-61. doi https://doi.org/10.1386/ac.18.2.41_1

Kredit foto

Poster Dramaturgi XIII diambil dari laman Twitter @SasindoUNAIR. Bila kurang berkenan, nanti saya cabut. Foto pertunjukan diambil sendiri. Mohon maaf amatiran.

3 Comments
In word we trust