Tidak Ada New York Hari Ini by M. Aan Mansyur
My rating: 2 of 5 stars
Catatan (agak) penting: saya belum pernah nonton AADC, bahkan filmnya yang pertama sekalipun.
Puisi cinta memang mudah memancing perasaan, sebab semua orang pasti mengalaminya. Karena itu pulalah ia cepat jadi membosankan. Walau ada satu dua rangkai kata yang cukup saya ingat (misal “Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang” yang sangat sering dikutip itu), tapi sisa-sisanya walaupun sentimental tapi cenderung membosankan. Entahlah, saya tidak begitu suka puisi-puisi cinta Aan Mansyur walau saya tak memungkiri kecakapannya dalam merangkai kata. Saya sempat membaca terjemahan beliau atas Puisi XX karya Pablo Neruda yang elok dan saya pakai sebagai acuan membuat terjemahan saya sendiri.
Mungkin gaya berpuisi seperti kumpulan ini memang sudah sangat formulaik, contohnya pada puisi Kahlil Gibran dan Pablo Neruda yang mengkiaskan cinta dengan peristiwa-peristiwa alam seperti siang dan malam atau panas dan dingin. Sama dengan bukunya Boy Candra yang dari judulnya (“Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai”) saja sudah tampak pasaran dan mencomot gaya berjudulnya Goenawan Mohammad (“Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”). Oke, ini ngelantur.
Oh ya, saya kurang suka pula ketika buku kumpulan puisi dicampurkan dengan buku kumpulan foto. Kesannya seperti membatasi ruang imajinasi pembaca dengan menampilkan gambaran peristiwa yang ingin disampaikan sekalian. Barangkali ini karena keharusan dari filmnya, ya. Naasnya saya tidak paham karena belum (dan tidak berminat) menonton film yang memuat kumpulan ini.
Dari sampul depan sampai sampul belakang buku ini, saya tidak menemukan puisi yang betul-betul orisinal. Elok, iya. Mengena, iya. Tapi, saya tidak merasakan rasa-rasa sastra di kumpulan ini. Tidak masalah menikmati buku ini, sayang ia bakal dingin di kenangnya.
Leave a Comment