Waktu SD dulu, saya suka bergonta-ganti ekstrakurikuler. Kelas 1 SD melukis, kelas 2-3 teater. Kenapa tidak konsisten begitu? Karena…. ah, susah dijelaskan. Saya cuma merasa ekstrakurikuler itu tidak cocok untuk saya. Nah, setelah hengkang dari teater, terus apa? Saya ikut sebuah ekstrakurikuler yang dinamakan SIAS. SIAS adalah Sanggar Ilmiah ala Sekolah Saya. Singkatannya memang seperti itu, kok.
Jadi alkisah, saya berkenalan dengan ekstrakurikuler tersebut dan langsung suka. Saya jadi bisa lebih sering memegang-megang mikroskop dan kit-kit di lab sains SD. Walhasil, jadilah lab tersebut salah satu spot favorit saya waktu itu. Saya mengenal peralatan laboratorium dari sana. Saya masih ingat ketika percobaan mengamati pernafasan pada tumbuhan air (yang pakai labu Erlenmeyer dan tabung reaksi dibalik itu), juga percobaan rangkaian listrik dinamis dengan kit listrik.
Tapi yang paling berkesan bukan percobaan-percobaan itu. SIAS memperkenalkan saya pada metodologi ilmiah. Saat materi tentang metodologi ilmiah, selain mengajarkan bagaimana cara menyusun laporan ilmiah, guru pembina saya juga mengajarkan pentingnya berpikir kritis. Saya masih ingat waktu itu beliau memberi tugas yang kira-kira seperti ini:
Saya akan menunjukkan sebuah objek. Cari minimal 20 deskripsi dari benda ini, kalau sudah kumpulkan ke saya di ruang guru.
Kemudian beliau menempelkan secarik kertas putih polos ke papan tulis dan langsung pergi.
Saya, seperti anak-anak lain jelas bingung. Saya lupa apakah saya berhasil menyelesaikannya atau tidak. Ah, yang jelas itu mengubah cara pandang saya terhadap mata pelajaran sains untuk selama-lamanya. 😀
Selain SIAS, waktu itu saya juga ikut ekstrakurikuler lain yang saya lupa namanya. Katanya, yang masuk ekstrakurikuler tersebut anak pilihan. Dan pilihannya adalah berdasarkan mata pelajaran. Singkat cerita, saya masuk ekstrakurikuler tersebut melalui jalur IPS. Ya, waktu itu saya memang jago IPS meski tahun depannya malah mendapat juara 2 olimpiade matematika yang diadakan sekolah *lho*. Yang ini pengalamannya nggak seberapa, sih. Tapi saya mulai jadi lebih jago pengetahuan umum sejak itu, yang menyebabkan saya direkrut menjadi pengada soal pengetahuan umum untuk sebuah lomba di SMA saya (yang baru saja berakhir).
Seingat saya, ekstrakurikuler tersebut sebenarnya cuma semacam pengayaan. Pembinaan, kalau pakai istilah olimpiade sains di SMA saya sekarang. 😆
2 Comments